Renungan Hari Minggu Palma
Yesus berarak menuju Yerusalem menunggang seekor keledai. Keledai itu sendiri merupakan hewan yang biasa digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan rendah. Keledai adalah simbol kesabaran, kelembutan dan kerendahan hati. Pada masa damai, para Raja juga biasa menunggangi keledai. Keledai itu berbeda dari kuda. Kuda merupakan hewan yang menyimbolkan keperkasaan, kehormatan dan kekuasaan. Kuda biasa digunakan oleh para kesatria, jenderal atau tentara untuk melengkapi kewibawaan mereka. Sangat menarik bahwa Yesus memilih untuk menggunakan keledai, bukan kuda. Dengan ini sebenarnya Yesus mau menegaskan diri-Nya sebagai Raja orang Yahudi, namun yang tidak mau melengkapi diri-Nya dengan dominasi dan kemuliaan, namun sebaliknya dengan kerendahan hati dan kelembutan. Kerajaan-Nya adalah yang bertahan selama-lamanya, ditandai dengan belas kasih dan pengampunan. Kerajaan-Nya merupakan kerajaan kedamaian dan keadilan dengan ciri khasnya adalah cinta dan keharmonisan di antara semua yang menjadi bagian di dalamnya. Tentu bukalah sebuah fakta yang bisa disangkal bahwa sebagai Tuhan, Dia adalah penguasa mutlak atas segala sesuatu. Sejarah dan waktu adalah milik-Nya. Namun perwujudan kekuasaan-Nya tidak dijalankan seperti kebiasaan manusia, seperti para raja-raja dunia ini, atau seperti para penguasa yang angkuh dan sering memaksaakan kehendak. Sebaliknya, kekuasaan dan kemuliaan Yesus diwujudkan melalui persembahan diri dalam kerendahan hati, melalui pelayanan dan keterbukaan yang konkret, melalui cinta bahkan rela menderita karenanya, dan semuanya itu demi kebaikan manusia.
Puncak dari cinta dan kerendahan hati yang menjadi ciri kemuliaan Kristus adalah pemberian diri-Nya di Salib. Ini adalah suatu penerimaan atas rasa sakit atau penderitaan dan kematian yang mengerikan. Setelah kehebohan dan kesemarakan yang terjadi dalam penyambutan-Nya ke Yerusalem yang dilakukan oleh orang banyak, Yesus tidak terlena dalam segala kenangan manis itu. Dia tahu betul bahwa kehendak Bapa berada di atas segala-galanya. Yesus dengan rela dan tanpa ragu-ragu masuk ke dalam pengalaman penderitaan itu, semata-mata karena cinta dan kerendahan hati-Nya untuk menebus kelemahan-kelemahan kita. Jika Yesus sendiri tidak membayar harga atas dosa-dosa kita dengan darah-Nya sendiri, jika Dia tidak menebus semua hukuman yang seharusnya pantas kita terima untuk dosa-dosa kita dengan penderitaan-Nya, kita tidak dapat diselamatkan. Segala pahala dan usaha-usaha diri dengan segala macam cara tidak cukup bagi kita untuk menjadi “benar” di hadapan Tuhan.
Adalah perlu bahwa Yesus menebus kita dengan darah-Nya. Dia berani melangkah menuju penyaliban-Nya, bahkan itu juga disertai dengan tindakan pengecut dari orang-orang yang sekarang semuanya bersembunyi meninggalkan-Nya. Ya, orang-orang yang sama yang juga telah menyambutnya sebagai Raja di Yerusalem itu. Orang-orang yang sama yang juga telah melambai-lambaikan palma dan zaitun untuk mengelu-elukan-Nya. Orang-orang yang sama yang juga telah membetangkan pakaian mereka untuk menyembah-Nya. Orang-orang yang sama seperti kita-kita ini, yang mungkin sering merasa diri paling sempurna dalam ibadah namun cenderung menolak untuk masuk ke dalam penderitaan seperti Kristus; penderitaan karena mencintai dan untuk mencintai. Orang-orang yang sama seperti kita-kita ini, yang sering hanya jadi penonton dan menolak untuk ikut memikul salib seperti Kristus.
Minggu palma adalah pintu masuk menuju pekan suci. Sesungguhnya ini adalah masa di mana kita diundang oleh Kristus untuk mengkonfigurasikan diri kita sendiri dengan penderitaan dan kematian-Nya, untuk kelak juga dibangkitkan bersama dengan-Nya. Ini adalah masa istimewa di mana undangan Tuhan itu begitu kuat disampaikan kepada kita, undangan untuk menjadikan penderitaan Kristus dan kematian-Nya menjadi milik kita sendiri. Kita perlu mengikuti orientasi Paulus yang mengajak kita semua untuk mengidentifikasikan diri kita dengan Kristus yang “tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, sebaliknya Ia telah mengosongkan diri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati”. Ini adalah pengajaran yang mengandung undangan untuk tidak mencari kepentingan diri sendiri dan merugikan orang lain, untuk tidak melarikan diri ke dalam keangkuhan dan kesombongan, untuk tidak membiarkan diri tertarik dengan kenyamanan dan kesuksesan yang palsu. Ini adalah undangan untuk mencita-citakan cinta dan belas kasih yang tidak akan dapat terwujud tanpa kerendahan hati. Totalitas untuk mengkonfigurasikan diri dengan Salib Kristus akan menjadi jaminan dalam memiliki kekuatan di tengan penderitaan dan pencobaan, dan akan membuat kita ulet dan tabah dalam pengorbanan dan cinta. Kerendahan hati yang dicontohkan oleh Kristus sendiri kepada kita harus menjadi kekuatan kita untuk membangun seluruh bangunan kehidupann kita sendiri dengan fondasi yang tetap kokoh, yaitu suatu bangunan kehidupan yang dicirikan dengan cinta dan belas kasih.
Mari kita menyadari tanggung jawab pribadi masing-masing dalam menghadapi kisah sengsara dan kematian Yesus, tanggung jawab kita di hadapan Salib Kristus. Logika Salib bukanlah logika egosentrisme. Sadar atau tidak, logika egosentrisme sering mempengaruhi bagaimana cara kita menjalani kehidupan ini dan bagaimana membentuk tindakan-tindakan kita. Tentu ini bukan ciri sejati seorang pengikut Kristus. Ini seperti cara berpikir orang-orang yang menghujat Yesus “selamatkanlah diri-Mu”. Atau seperti para pemimpin yang berkata “orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat ia selamatkan”. Atau juga seperti salah satu penjahat yang disalibkan bersama Yesus, yang berkata “selamatkanlah diri-Mu”. Egosentrisme berarti menjadikan diri sendiri sebagai pusat segala sesuatu. Egosentrisme berarti menyelamatkan diri sendiri, menjaga diri sendiri, memikirkan diri sendiri, mengutamakan kesejahteraan, kesuksesan, minat, kepemilikan, dan cintra diri sendiri. Dan ini semua adalah semangat yang bertentangan dengan semangat Salib Kristus. Mari kita memikirkannya.