Perkawinan Sebagai Perjanjian (Foedus)
Pandangan yang melihat perkawinan sebagai perjanjian (foedus) memuncak selama Konsili Vatikan II. Oleh karena itu, hukum kanonik pun tidak bisa tidak mengacu pada pandangan ini dalam mendefenisikan perkawinan. Kan. 1055 § 1 menyatakan “Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk di antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut sifak khas kodratnya terarah kepada kebaikan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”. Jadi, perkawinan terutama didefenisikan sebaga perjanjian (foedus).
Bagaimana memahami foedus perkawinan ini? Istilah foedus atau perjanjian adalah sebuah istilah alkitabiah, yang merujuk pada “perjanjian” yang terjadi antara Allah dan umat Israel sebagai bangsa pilihannya. Perjanjian itu adalah perjanjian cinta kasih. Allah mengikat perjanjian dengan umat-Nya semata-mata didorong oleh kasih-Nya, dan yang berpuncak pada perutusan Yesus Kristus. Perkawinan sebagai perjanjian mengambil analogi yang sama. Ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah di sana ada perjanjian. Pertama, perjanjian antara Allah dan pasangan itu sendiri yang memiliki karakter mendasar (yaitu kasih) seperti perjanjian antara Allah dengan umat Israel. Ini adalah rahmat istimewa bagi pasangan suami-istri yaitu berupa kasih Allah kepada mereka. Kedua, perjanjian antara Allah dengan Israel, juga antara Allah dengan pasangan itu sendiri, dalam cara tertentu menjadi sumber atau inspirasi untuk cinta antara suami dan istri.
Selanjutnya, konsep «perjanjian» selalu mengedepankan relasi pribadi (personal relationship) dan komitmen bersama. Tidak ada relasi cinta yang bisa berbuah tanpa sebuah relasi yang benar-benar personal atau pribadi. Relasi personal ini diwujudkan dengan tindakan saling menyerahkan diri dan saling menerima satu sama lain dalam kehendak bebas, untuk membentuk persekutuan perkawinan yang bertahan seumur hidup. Perkawinan baik pada saat diteguhkan (matrimonium in fieri) maupun pada saat dihidupi (matrimonium in facto esse) sungguh-sungguh merupakan perjanjian yang satu dan sama. Pada saat peneguhan perkawinannya, seorang pria dan seorang wanita mengikat perjanjian untuk saling menyerahkan diri dan menerima dengan kehendak bebas. Pada saat perkawinan itu dihidupi, suami dan istri oleh karena perjanjian yang telah dibuat saling melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kesetiaan satu kepada yang lain, dan kelak bersama-sama sebagai ayah dan ibu kepada anak-anak mereka.
Perlu digarisbawahi juga, perjanjian perkawinan selalu dan hanya dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita (inter virum et mulierem). Di sini terdapat penegasan akan prinsip heteroseksualitas dan prinsip complementary dalam perkawinan katolik. Prinsip heteroseksualitas melihat perbedaan seksualitas dan jenis kelamin merupakan anugerah kodrati yang harus diterima dan dimaknai secara personal dan menentukan kodrat manusia. Peran dalam perbedaan itu secara istimewa ditunjukan dalam perkawinan. Allah telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan dan memanggil mereka untuk mewujudkan cinta kasih melalui lembaga perkawinan.
Prinsip heteroseksualitas ini mendorong pemenuhan prinsip complementary, yang menegaskan keterlibatan pasangan dengan seluruh dirinya termasuk dengan berbedaan seksualitasnya untuk saling melengkapi satu sama lain. Dalam perkawinan, suami-istri saling melengkapi satu sama lain. Ini merupakan perwujudan kasih di antara mereka. Prinsip complementary terutama terwujud dalam kerja sama seksual secara manusiawi untuk menghasilkan keturunan (prokreasi) yang merupakan salah satu tujuan dari perkawinan. Demikian pula tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak bisa terwujud secara penuh melalui kerja sama aspek-aspek maternitas (dimensi keibuan) dan paternitas (dimensi kebapakaan).
Dengan ini, Gereja hanya mengamini perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan secara natural terbentuk oleh karena afinitas atau ketertarikan antara pria dan wanita untuk saling melengkapi secara emosional, spiritual, dan fisik. Gereja menolak dengan tegas perkawinan same-sex couples (homoseksualitas dan lesbianisme). Pasangan yang berjenis kelamin sama (same-sex couple) tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkan tujuan natural pernikahan untuk menghasilkan keturunan dan saling melengkapi.