Jesus Christ

Kuasa Legislatif Dalam Gereja Katolik

Gereja sebagai Umat Allah adalah suatu masyarakat yang kelihatan dan terstruktur secara organis. Oleh karena kenyataanya yang demikian, Gereja membutuhkan adanya kuasa tertentu yang mengaturnya, agar tujuan-tujuan yang hendak dicapai dapat terwujud. Kuasa ini disebut “kuasa suci” (potestas sacra) yang berasal dari Kristus sendiri, dan yang dijalankan sebagai alat pelayanan (bukan dominasi) untuk menata agar semua anggota Gereja Umat Allah bahu-membahu mewujudkan tujuan-tujuan Gereja menuju kepada keselamatan. Potestas sacra mewujudkan di dalam pelayanannya kuasa untuk menjalankan tugas-tugas yang telah dipercayakan oleh Kristus kepada Gereja untuk dilanjutkan di bumi ini. Kuasa-kuasa itu adalah kuasa untuk mengajar (potestas docendi), kuasa untuk memimpin (potestas governandi), dan kuasa untuk menguduskan (potestas santificandi).

Berkaitan dengan kuasa untuk memimpin (potestas governandi), yang merupakan salah satu wujud dari potestas sacra, hanya dapat diemban oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci. Sementara umat beriman awam dapat menjadi rekan kerja menurut norma hukum (kan. 129). Dalam bahasa hukum kanonik, kuasa kepemimpinan ini disebut potestas regiminis. Kuasa ini akan disebut ordinaria (potestas ordinaria) bila oleh hukum sendiri dikaitkan dengan suatu jabatan tertentu. Namun bisa juga disebut delegata (potestas delegata) bila kuasa itu tidak diberikan kepada orang tertentu berdasarkan jabatan, melainkan melalui delegasi. Potestas ordinaria disebut potestas ordinaria propria bila kuasa itu dijalankan atas nama sendiri, dan disebut potestas ordinaria vicaria bila kuasa itu dijalankan atas nama orang yang diwakilinya (kan. 131)

Berdasarkan itu, kita kemudian mengenal pelakasanaan kuasa kepemimpinan oleh mereka yang disebut ordinaris. Dalam hukum yang disebut sebagai ordinaris adalah Paus, para Uskup Diosesan, mereka yang memimpin Gereja partikular tertentu meskipun hanya sementara saja, dan semua yang memiliki kuasa eksekutif ordinaria seperti Vikaris Jenderal dan Episkopal, Superior tinggi tarekat religius berhukum pontifikal terhadap para anggotanya saja, dan Superior tinggi serikat hidup kerasulan pontifikal terhadap para anggotanya saja. Sementara itu, dibedakan pula mereka yang disebut sebagai ordinaris wilayah, yakni semua yang telah disebutkan di atas, kecuali  superior tinggi tarekat religius dan serikat hidup kerasulan berhukum pontifikal (kan. 134).

Sebagaimana sebuah negara modern yang demokratis, kuasa pemerintahan atau kepemimpinan Gereja meliputi kuasa legislatif, kuasa eksekutif, dan kuasa yudisial. Namun bedanya, jika dalam sebuah negara demokratis ada pemisahan secara tegas kuasa-kuasa eksekutif, legislatif, dan yudisial, maka di dalam Gereja kuasa-kuasa itu hanya berkonsentrasi pada Paus dan para Uskup di keuskupannya dalam kesatuan dengan Paus. Mereka adalah hakim, administrator, dan legislator untuk Gereja universal (Paus), dan untuk masing-masing keuskupan (uskup diosesan). Kuasa eksekutif berarti kuasa untuk melaksanakan tindakan administratif menurut hukum, misanyalnya mengeluarkan dekret atau perintah, resktrip, memberikan privilegi atau pun juga dispensasi. Sementara kuasa yudisial dijalankan oleh para hakim sesuai dengan ketentuan hukum.

Kuasa legislatif ada pada seorang pembuat undang-undang. Di dalam Gereja, menurut ketentuan kan. 135 ξ 2, subjek-subjek konkret pelaksana kuasa legislatif tidak memiliki kuasa itu secara sama. Ada yang disebut kuasa tertinggi legislatif (legislator supremus), sedangkan yang lebih rendah disebut legislatores inferiores. Subjek-subjek itu antara lain:

Paus

Paus memegang kekuasaan tertinggi legislatif di dalam Gereja dan yang menjalankannya untuk seluruh Gereja Katolik  di seluruh dunia (kan. 331). Paus memiliki wewenang untuk mempromulgasikan UU gerejawi universal, secara khusus hukum kanonik, di samping ketentuan-ketentuan khusus lain yang amat penting melalui litterae apostolicae. Bila ketentuan itu dikeluarkan dalam format motu proprio (yaitu berdasarkan inisiatif Paus sendiri) maka dokumen tersebut bersifat tidak dapat didiskusikan lagi terutama yang berkaitan dengan materi legislatif dan yuridis universal untuk Gereja seluruhnya.

Kolegium Para Uskup

Kolegium Para Uskup dikepalai oleh Paus dan beranggotakan Para Uskup di seluruh dunia. Badan ini menjalankan kuasa legislatifnya secara meriah melalui konsili ekumenis atau pun melalui tindakan bersama dan kolegial yang diterima dengan bebas oleh Paus sebagai kepalanya (kan. 337). Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan melalui cara di atas termasuk ke dalam kategori UU, yang memiliki kekuatan hukum jika disetujui oleh Paus, (juga para Bapa Konsili untuk konteks konsili ekumenis) dan kemudian diundangkan atas perintahnya (lih. kan. 340-341).

Sinode Para Uskup

Sinode Para Uskup merupakan badan konsultatif sehingga tidak bisa menyamakan diri dengan konsili. Karena merupakan badan konsultatif saja, maka sebenarnya badan ini tidak memiliki kuasa legislatif. Namun, Sinode Para Uskup bergantung sepenuhnya pada Paus. Jika sinode diberi kuasa deliberatif (kuasa untuk membuat keputusan mengenai persoalan-persoalan tertentu), hal itu tetap dalam rangka memberikan masukan, nasihat atau rekomendasi kepada Paus. Paus lah yang berwenang secara penuh untuk mengesahkan keputusan-keputusan deliberatif yang dihasilkan oleh sinode.

Uskup Diosesan Dan Yang Disamakan Dengannya

Para Uskup adalah pengganti para Rasul. Berdasakan jabatannya, Uskup diosesan memiliki segala kuasa yang tentu saja dibutuhkan untuk tugas kegembalaannya (kan. 381). Sumber dari kuasa-kuasa yang dimiliki oleh seorang Uskup diosesan berasal dari potestas sacra. Dalam hal kuasa legislatif, Uskup diosesan menjalankannya secara personal (kan. 391 ξ 2). Kuasa legislatif seorang Uskup tidak dapat didelegasikan kepada bawahannya. Kuasa itu juga bersifat otonom, tidak boleh bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, dan memperhatikan hal-hal teknis-yuridis berkaitan dengan penetapan UU sebagaimana yang diatur di dalam hukum. Tentu saja, kuasa legislatif seorang Uskup diosesan, dan UU yang dihasilkannya memiliki daya ikat terhadap bawahan-bawahannya atau umat beriman yang berada di wilayah keuskupannya.

Konsili Partikular

Konsili partikular adalah wadah yang bersifat kolegialitas di antara para Uskup yang tergabung dalam satu konferensi atau provinsi gerejawi, untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keperluan pastoral umat Allah dan memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pastoral bersama demi pertumbuhan iman atau untuk memelihara tata-tertib gerejawi. Konsili partikular memiliki kuasa legislatif, yang dilaksanakan dalam rangka menetapkan norma-norma partikular yang berlaku secara khusus di provinsi gerejawi atau konferensi. Dalam pelaksanaan kuasa ini, tentu harus memperhatikan UU universal yang lebih tinggi (kan. 445, 135 ξ 1).

Konferensi Para Uskup

Konferensi Para Uskup memiliki kuasa legislatif sejauh diatur oleh hukum terhadap Gereja-Gereja partikular yang tergabung di dalamnya. Di dalam hukum kanonik terdapat beberap wewenang yang diberikan kepada Konferensi Para Uskup untuk menetapkan apa yang disebut sebagai norma-norma pelengkap bagi Kitab Hukum Kanonik misalnya yang ditentukan dalam  kan. 230 ξ 1, 236, 242, 276 ξ 2, 284, 788 ξ 3, 831 ξ 2, dan masih banyak kanon lain lagi.

Kapitel Umum Tarekat Religius

Setiap Tarekat Religius memiliki undang-undangnya sendiri yang disebut Konstitusi. Sementara Kapitel Umum adalah otoritas tertinggi tarekat yang tugas-tugasnya antara lain untuk melindungi warisan tarekat, memilih pemimpin atau moderator tertinggi, membahas hal-hal penting tarekat, dan mengeluarkan norma-norma yang harus ditaati oleh semua anggota tarekat (kan. 631 ξ 1). Karena salah satu fungsinya adalah mengeluarkan norma-norma, dengan demikian, Kapitel Umum dapat dikatakan sebagai badan yang memiliki kuasa legislatif  untuk tarekat itu sendiri.

Sumber: A. Tjatur Raharso, Sistem Legislasi Gereja Katolik, Malang: Dioma, 2012.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kaum Religius Previous post Ketaatan Dalam Hidup Religius
Next post Mengapa Gereja Katolik Memerlukan Hukum?