Ketaatan Dalam Hidup Religius
Dengan mengikrarkan nasihat injili ketaatan, seorang religius merelakan diri untuk taat seperti Kristus sendiri kepada kehendak Allah (Yoh 14: 23-24; Flp 2: 7-8), dengan cara konkret meletakan kehendak ataupun preferensi pribadinya di bawah kehendak pemimpin tarekat selaku wakil Allah, dalam iman dan semangat cinta kasih. Ketaatan religius merupakan komitmen untuk mengikuti Kristus yang taat sampai mati, yang dipilih secara sukarela dalam semangat iman dan kasih. Tanpa iman yang benar dan kasih yang tulus, seseorang tidak akan bisa hidup taat. Menghayati ketaatan dengan pengertian seperti ini, mengharuskan seorang religius untuk meletakkan hak kemerdekaan atau kebebasannya sebagai manusia. Kemerdekaan atau kebebasan adalah hak manusia yang sangat fundamental. Setiap orang selalu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dan kebebasannya dari penindasan orang lain. Dalam kaitannya dengan hak itu juga, setiap orang secara alami memiliki kecenderungan untuk memutuskan atau memilih bagi dirinya sendiri, dengan mempertimbangkan keadaan pribadi dan hidupnya, sesuatu apa pun itu yang dipandangnya baik dirinya sendiri. Dalam ketaatan justru seorang religius secara sukarela meletakkan hak alamiahnya “untuk memiliki pilihan dan rencana sendiri” tersebut demi kepentingan Gereja, Ordo dan masyarakat.
Dengan kata lain, dalam ketaatan seorang religius secara rohani “mati” terhadap keinginan-keinginannya, pilihan-pilihannya, rencana-rencana pribadinya, preferensi-preferensi pribadinya, untuk menerima kehendak Tuhan secara utuh dengan segenap jiwa. Ini semua tidak berarti bahwa kebebasannya atau “hak untuk memilih” itu dilanggar. Justru dalam ketaatannyalah seorang religius menemukan kebebasannya, yaitu kebebasan yang terungkap dalam kemampuan dan kekuatan untuk mencintai. Seorang religius hendaknya memiliki visi “mati terhadap keinginan-keinginan diri sendiri”. Visi ini akan membantunya untuk menjalani ketaatan dan tidak memandangnya sebagai penindasan atau sebagai ketidakadilan yang melanggar haknya untuk bebas memilih. Seorang religius yang tidak memiliki visi seperti ini akan melarikan diri dari tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya, bahkah bisa sampai pada penyalahgunaan wewenang, atau mundurnya semangat kemiskinan dan kemurnian. Terkadang seorang religius membutuhkan usaha mati-matian untuk bisa menghayati ketaatan, namun justru usaha itu sendirilah yang sebenarnya bisa membuatnya akan mampu bertumbuh dan berkembang dalam melepaskan keinginan-keinginan yang berpusat pada diri sendiri. Dengan demikian, dalam kebajikan ketaatan sebenarnya terkandung dimensi-dimensi asketis dan apostolik. Dari sisi asketis, ketaatan religius dimengerti sebagai kepatuhan kepada pemimpin sebagai “wakil Allah”. Sementara, dari dimensi apostolik ketaatan religius berarti kerelaan untuk membaktikan diri terutama dalam kerasulan bersama.
Dalam dimensi asketis, seorang religius yang taat menyerahkan kehendak pribadinya kepada orang lain dan melepaskan “hak untuk memutuskan sendiri”. Hal ini dapat dinilai sebagai fakta yang bertentangan dengan kodrat manusia itu sendiri. Namun, jika dilihat dari sudut iman dan tujuannya yang sesungguhnya, maka itu akan tampak sebagai tindakan seorang “martir” kehidupan. Penyerahan diri seorang religius dalam ketaatan kepada pemimpinnya yang sah terjadi karena religius tersebut melihat dalam diri pemimpinnya wakil-wakil Tuhan, yang berkewajiban membantu dan mendampingi anggotanya dalam mencari kehendak Tuhan secara konkret. Pencarian terus-menerus akan kehendak Tuhan harus menjadi satu-satunya alasan bagi para pemimpin ketika mereka menuntut ketaatan religius dari anggota tarekatnya, demikian pula menjadi satu-satunya alasan seorang religius menerima kehendak Pemimpin dalam semangat ketaatan.
Sedangkan dalam dimensi apostolik, Ketaatan mengarahkan seorang religius untuk secara sukarela mengabdikan diri demi kepentingan Gereja, Ordo, dan sesama, bukan untuk kepentingan pribadi. Menerima dengan rendah hati sebuah tugas dari pemimpin, bukan sebaliknya memilihnya berdasarkan preferensi pribadi, akan membuat religius tersebut menjadi bagian dari satu tubuh (Gereja/Ordo/masyarakat) yang bergerak bersama untuk suatu tujuan tertentu. Problem penghayatan ketaatan sering kali muncul ketika seorang religius tidak “yakin” akan keputusan yang dibuat oleh Pemimpin dan dalam arti tertentu “dipaksa” untuk melawan “hati nuraninya sendiri. Maka untuk mengatasi hal seperti ini, seorang religius dan pemimpinnya perlu bersama-sama menemukan kehendak Allah dalam konteks yang konkret. Keduanya harus mencari, dalam semangat kerendahan hati dan dalam doa, apa yang Tuhan inginkan demi kebaikan semua orang. Saling menghormati dan percaya satu sama lain, serta minat yang tulus demi kebaikan semua, serta adanya dialog yang sejati, adalah prasyarat yang membantu pencarian bersama akan kehendak Allah yang dilakukan oleh seorang pemimpin bersama religius anggota tarekatnya. Keputusan apa pun harus diterima dan dihormati dengan semangat ketaatan. Inilah makna ketaatan religius yang sebenarnya, yang bukan merupakan keutamaan bagi yang lemah tetapi bagi yang kuat.
Penting untuk dicatat bahwa ketaatan tidak berarti bahwa seseorang menerima suatu keputusan hanya karena keputusan itu berasal dari pemimpin semata-mata. Lebih dari itu, ketaatan berarti bahwa seseorang menerima keputusan pemimpin dan berusaha melaksanakannya dengan cinta, dengan segenap kekuatannya, seolah-olah itu adalah keputusannya sendiri. Jika keputusan pemimpin tidak menjadi miliknya sendiri dan hanya dilakukan secara formal-eksternal saja, tanpa persetujuan internal yang jujur dan tulus dalam diri sendiri, maka ketaatan tersebut tidak menjadi kebajikan.