Egypt

Hakikat Perkawinan Katolik Menurut Gaudium et Spes

Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (disingkat: GS) adalah salah satu dokumen Konsili Vatikan II yang menampilkan ajaran dan refleksi yang cukup lengkap tentang perkawinan Katolik. Pandangan tentang perkawinan yang ditampilkan dalam dokumen ini dapat dipahamai sebagai landasan penting untuk memahami konsep dan hakikat perkawinan dalam agama Katolik. Konsili Vatikan II menggarisbawahi beberapa prinsip fundamental yang dapat menjadi referensi utama doktrin Gereja tentang perkawinan, baik secara teologis maupun secara yuridis. 

Refleksi tentang perkawinan dalam dokumen ini diawali dengan menggarisbawahi keyakinan akan peran penting lembaga perkawinan dalam masyarakat. Dalam artikel 47, GS menegaskan bahwa kesejahteraan dan kerukunan perkawinan serta keluarga memiliki hubungan erat dengan keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi dan kristiani. Hal ini mendorong Gereja untuk menyoroti dan mengkritisi berbagai persoalan perkawinan di dunia dewasa ini, yang semakin kompleks dan berhadapan dengan beragam tantangan. Konsili melihat bahwa fenomena-fenomena poligami, perceraian dan kebebasan yang tidak bertanggung jawab, dapat mengancam martabat perkawinan sejati sebagai suatu persatuan yang stabil dan permanen antara seorang pria dan seorang wanita atas dasar perjanjian cinta. Sementara itu, cinta kasih suami-istri sering kali mendapat tantangan dari mentalitas-mentalitas egoisme, hedonisme, dan cara-cara tidak halal dalam memperoleh keturunan. Gereja, melihat tantangan besar yang dihadapi lembaga perkawinan itu, mencoba untuk mengundang semua pihak yang berkemauan baik, untuk bekerja sama dalam membela nilai luhur dan kesucian perkawinan.

Selanjutnya, dalam artikel 48, GS menjelaskan pengertian perkawinan. Pada tempat pertama, Gereja memandang perkawinan merupakan sebuah realitas suci yang terbentuk berdasarkan rencana cinta kasih Allah sendiri. Allah telah menetapkan eksistensi lembaga perkawinan ketika menciptakan manusia (ab initio/from the beginning). Inilah pangkal kesucian perkawinan itu. Pandangan yang sama ini bahkan diamini oleh hampir seluruh peradaban manusia yang melihat perkawinan sebagai sebuah realitas suci. Lebih lanjut, perkawinan terbentuk oleh perjanjian cinta antara seorang pria dan seorang wanita. Pada titik ini, perkawinan merupakan suatu persekutuan kasih yang memiliki tugas untuk menyatakan misteri cinta  kasih Allah. Perkawinan dan keluarga terbentuk melalui pemberian diri satu terhadap yang lain dalam cinta kasih. Inilah yang menjadi dimensi utama perjanjian perkawinan. Selain itu, dalam suatu perkawinan prinsip heteroseksualitas mendapat penekanan. Heteroseksualitas memungkinkan terwujudnya prinsip saling melengkapi seorang pria dan seorang wanita dalam perkawinan itu. Prinsip ini juga berkaitan erat dengan salah satu tujuan kodrati perkawinan itu sendiri, yakni melahirkan keturunan.

Perkawinan juga merupakan “intima communitas vitae et amoris coniugalis” (persekutuan mesra hidup dan kasih suami-istri). Persekutuan inilah yang terbentuk melalui perjanjian (foedus) timbal balik seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian atau foedus ini adalah sebuah terminologi yang diambil dari Kitab Suci. Melalui penggunaannya, Gereja hendak menonjolkan kekayaan makna perjanjian antara Allah dengan umat-Nya, yang merupakan sumber inspirasi dan model cinta kasih sejati antara suami dan istri. Perjanjian kasih suami-istri itu sendiri adalah tindakan manusiawi denganya suami dan istri saling menyerahkan diri dan saling menerima satu terhadap yang lain. Di satu sisi, Allah membentuk lembaga perkawinan menurut hukumnya, dan di sisi lain, manusia sebagai seorang pria dan seorang wanita membuat kesepakatan dengan perjanjian yang tidak dapat dibatalkan untuk membentuk persekutuan seumur hidup. Persekutuan seumur hidup tidak dapat bertahan tanpa adanya cinta kasih. Cinta kasih suami istri bukanlah sebuah perasaan sederhana yang mudah berlalu, melainkan sebuah cara hidup baru bagi pasangan itu melalui perkawinan yang mereka bangun. Sebagaimana Allah adalah cinta, pria dan wanita (yang adalah imago dei) pun terbuka kepada cinta. Mereka saling melengkapi satu sama lain dan saling memperkaya.

Martabat luhur perkawinan juga merujuk pada sifat sakramentalnya. Sebagaimana telah dikatakan, nilai cinta kasih dalam perkawinan sepenuhnya mengacu pada model cinta Allah kepada umat-Nya. Dengan adanya peristiwa inkarnasi (Sabda menjadi daging; Allah menjadi manusia), cinta Allah tersebut dinyatakan secara konkret dan sempurna melalui tindakan Kristus yang mengasihi Gereja. Kristus pun telah mengangkat perkawinan ke martabat sakramen. Dengan itu, perkawinan dapat menjadi simbol relasi kasih antara Kristus dengan Gereja-Nya. Suami-istri Katolik dikuduskan melalui Sakramen Perkawinan, agar denganya mereka menjadi tanda luhur kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Jadi, seperti Kristus yang mengasihi Gereja, demikian pula suami-istri dalam perkawinan mereka, saling mengasihi satu sama lain dengan kesetiaan yang tak akan berhenti. Sakramentalitas perkawinan juga direfleksikan sebagai perjumpaan dengan Kristus yang datang kepada pasangan dan tinggal bersama mereka sehingga mereka dapat saling mencintai satu sama lain dalam kesetiaan permanen dan stabil. Selain itu, relasi kasih suami-istri juga menampakkan wajah Gereja itu sendiri. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa keluarga adalah Gereja rumah tangga. Semua dimensi ini menjadi ciri khas istimewa makna dari sakramen perkawinan.

Melihat pandangan GS tentang perkawinan sejauh ini, kita dapat melihat bahwa pandangan personalisme berpengaruh sangat kuat. Personalisme selalu melihat kepribadian sebagai nilai yang tertinggi dalam hidup dan merupakan kunci semua realitas dan nilai. Dengan dipengaruhi oleh pandangan tersebut, Konsili menegaskan bahwa cinta selalu dinyatakan dari satu pribadi ke pribadi lain dalam kepenuhan kehendak dan perasaan, yaitu dengan seluruh tubuh dan jiwanya (lih. GS 49). Justru dalam cinta yang menyatukan mereka itulah, suami dan istri menemukan landasan dan alasan utama bagi eksistensi atau keberadaan mereka. Cinta di antara mereka menjadi sumber yang mendorong pertumbuhan pribadi dalam semua aspeknya. Dan dalam perkawinan, pengungkapan cinta yang paling konkret diwujudkan dalam tindakan-tindakan khas perkawinan itu sendiri, yang intim dan mesra, luhur dan terhormat, serta manusiawi. Cinta suami-istri berwujud pemberian diri satu terhadap yang lain, bersifat complementary (saling melengkapi), unitif, permanen dan esklusif. Buah dari cinta yang konkret itu adalah kelahiran dan pendidikan anak-anak mereka kelak (aspek prokreasi), di samping kesejahteraan suami-istri itu sendiri. Suami-istri yang kelak akan menjadi orang tua setelah kelahiran anak-anak mereka, memiliki peran mulia untuk melestarikan keberlangsungan hidup umat manusia dengan cara-cara yang manusiawi dan bertanggung jawab. Gereja mengutuk upaya-upaya pengguguran yang disengaja dan pembunuhan anak yang merupakan tindakan-tindakan keji dan tidak bertanggung jawab (lih. GS 50-51).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Black Cross Previous post Bertobatlah, Sebab Kerajaan Surga Sudah Dekat (Mat 4:12-23)
Next post Pentingnya Peran Master Of Ceremony Dalam Perayaan Liturgi