Ciri-Ciri Hakiki Perkawinan Katolik
Kan. 1056 menyebutkan bahwa “ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen”. Dalam istilah latin, ciri-ciri hakiki ini disebut proprietates essentiales, yang berarti milik khas dari perkawinan. Dengan kata lain, ciri-ciri tersebut melekat dan terkandung dalam setiap perkawinan kristiani atas dasar sakramen. Ciri-ciri inilah yang membedakan relasi perkawinan dari setiap jenis lain relasi laki-laki dan perempuan. Ada dua ciri hakiki perkawinan yaitu unitas dan indissolubilitas.
Unitas
Ciri unitas atau unity menunjukkan bahwa perkawinan merupakan ke-satu-an relasi antara seorang pria dan seorang wanita, yang dengan perjanjian yang bersifat esklusif, membangun persekutuan hidup sebagai suami-istri secara permanen dan stabil. Dalam perjanjian perkawinan yang dibuat, suami-istri saling menyerahkan diri dan saling menerima secara esklusif. Mereka telah menjadi “satu daging” (Kej 2:24). Esklusif di sini artinya tidak ada relasi lagi dengan pihak-pihak lain sebagai istri atau suami kedua, ketiga, dan seterusnya. Dengan demikian, sebenarnya ciri unitas atau kesatuan juga berarti monogami. Setiap perkawinan kristiani bersifat monogam. Perkawinan yang monogami terjadi antara seorang pria dan seorang wanita.
Ada dua tindakan yang bertentangan dengan sifat monogami atau kesatuan perkawinan yaitu poligami (atau poliandri) dan ketidaksetiaan. Poligami berarti seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu perempuan, sebaliknya poliandri berarti seorang wanita memiliki suami lebih dari satu laki-laki. Poligami dalam bentuk apa pun bertentangan dengan sifat monogami perkawinan kristiani. Di Indonesia, menurut UU RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, terbuka kemungkinan untuk poligami dengan seizin pengadilan, jika dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan serangkain persyaratan telah terpenuhi (pasal 5). Seorang kriatiani tentu tidak dapat berpatokan pada norma sipil ini untuk dapat melakukan poligami. Seorang kristiani hanya dapat menikah secara monogami. Menurut Hukum Gereja, seorang yang sudah mengikat perkawinan sah dan sakramental tidak dapat menikah lagi dengan orang lain. Ikatan perkawinan yang telah dibuatnya menjadi halangan yang menggagalkan atau membuat tidak sah perkawinan baru (kan. 1085).
Ciri unitas atau sifat monogam perkawinan kristiani membawa serta konsekuensi langsung berupa kesetiaan suami-istri (bonum fidei menurut St. Agustinus). Oleh karena itu, setiap bentuk ketidaksetiaan dalam perkawinan bertentangan dengan ciri kesatuan atau unitas. Wujud ketidaksetiaan dapat berupa perselingkuhan, perzinahan, dan sebagainya. Bahkan, jika ketidaksetiaan itu nampak merupakan kehendak positif yang sudah ada sejak awal untuk membagi relasi intim dengan laki-laki atau perempuan lain, hal itu dapat mempengaruhi sahnya kesepakatan nikah, yang membuat perkawinan menjadi tidak sah sejak semua.
Indissolubilitas
Ciri indisslubilitas menunjukkan bahwa setiap perkawinan yang sah dan sakramental, atau perkawinan antara orang-orang kristiani, bersifat tak-dapat-diputuskan atau tak terceraikan. Ikatan nikah selalu bersifat permanen dan stabil, yang berlangsung sumur hidup. Persekutuan hidup suami-istri ditandai dengan semangat atau habitus untuk saling menyerahkan diri dan saling menerima seumur hidup. Kesepakatan yang membentuk perkawinan tidak dapat ditarik kembali sesuka hati oleh pasangan yang menikah. Sifat tak-dapat-diputuskan atau tak terceraikan ini mendukung pemenuhan tujuan-tujuan perkawinan. Tujuan-tujuan perkawinan (kesejahteraan suami-istri dan kelahiran serta pendidikan anak) hanya dapat diwujudkan bila ciri indissolubilitas ini tetap dihayati.
Sifat tak-dapat-diputuskan dari sebuah perkawinan sah dan sakramental terwujud baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Sifat tak terputuskan intrinsik berarti ikatan perkawinan itu tak dapat diputuskan “dari dalam” oleh keingingan atau kehendak suami-istri itu sendiri. Perjanjian dan kesepakatan nikah yang telah mereka buat tidak dapat dibatalkan menurut kehendak hati mereka. Sedangkan sifat tak terputuskan ekstrinsik berarti, sebuah perkawinan sah dan sakramental tidak dapat diputuskan ikatannya “dari luar” oleh kuasa manusiawi manapun juga. Apabila perkawinan tersebut telah disempurnakan dengan konsumasi (relasi seksual khas suami-istri), sifat tak terputuskan dari perkawinan tersebut adalah mutlak (kan. 1141).
Ciri indissolubilitas perkawinan kristiani menolak adanya perceraian. Perceraian merupakan tindakan yang bertentengan dengan sifat tak terputuskan perkawinan. Dalam banyak kasus, perceraian justru akan membawa dampak buruk terutama bagi anak-anak. Perceraian biasanya dilandasai oleh sikap egoistis dari pihak suami maupun istri. Di dunia zaman sekarang ini, tantangan terhadap ciri kesatuan maupun indissolubilitas semakin kuat. Dalam banyak kesempatan, Gereja selalu mengundang semua orang beriman kristiani untuk mempromosikan nilai-nilai kesatuan dan tak terputusnya perkawinan. Suami-istri kristiani hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk menjaga perkawinan mereka. Perkawinan yang satu dan tak terceraikan dikukuhkan berdasarkan sakramen. Sebagai sakramen, perkawinan kristiani merupakan tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan baik bagi pasangan suami-istri itu sendiri maupun bagi Gereja. Cinta kasih suami-istri merupakan simbol yang menampakkan cinta permanen Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Semoga suami-istri kristiani dapat menghayati spiritualitas ini dengan baik dalam kehidupan perkawinan mereka.